Air 💧.
Semua makhluk hidup perlu air, baik dalam jumlah banyak atau sedikit. Adapula makhluk hidup yang sehari-harinya hidup dalam air. Namun, apakah kualitas air yang kita gunakan sehari-hari masih 'baik-baik saja'?
"Direbus dulu lah.."
Jika yang kita gunakan untuk minum kebetulan bukan air mineral kemasan, itu adalah langkah yang tepat. Namun, apa air yang direbus ini sudah dipastikan 'baik' awalnya? Kualitas air yang baik tidak hanya sekedar tidak berwarna, jernih, tidak berasa dan berbau saja. Namun ada faktor lain seperti suhu, pH air, zat padat terlarut, jenis zat terlarut (organik dan anorganik) yang terdapat dalam air, bioindikator, BOD, kekeruhan, kesadahan dan masih banyak lagi.
"Kalau sedikit-sedikit dicek terus, ntar nggak jadi minum dong karena parno duluan.."
Bukan parno juga, tapi kalau kita terlalu sembarangan minum air, salah-salah diare dong siapa yang mau sakit apalagi di era COVID yang belum juga usai di sini.
"Terus solusinya apa? 'Kan nggak semua punya akses yang mudah terhadap air bersih."
Nah ini dia. Sejauh ini solusi yang paling mudah dijangkau sebagian besar orang adalah menggunakan alat penyaring air, baik yang dijual di pasaran maupun versi DIY. Setelah itu, air yang hendak dipakai minum baru diolah sesuai kegunaan. Akan tetapi, kalau airnya sudah terlampau kotor, maka butuh beberapa kali penyaringan untuk mendapatkan air yang jernih, yang tentunya tidak praktis bagi sebagian orang.
***
Selama berabad-abad, manusia telah menyaksikan hubungan intrinsik antara pembangunan dan sumber daya air tawar. Namun, dengan naiknya pertumbuhan populasi dan ekonomi, ketersediaan sumber daya yang terbatas ini semakin turun, baik dalam kualitas maupun kuantitas. Urbanisasi yang cepat, perubahan penggunaan lahan, perubahan kondisi lahan, perubahan iklim dan cuaca ekstrim juga sering terjadi. Kondisi iklim semakin memperburuk tantangan pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Diperkirakan lebih dari 60% populasi dunia akan tinggal di daerah perkotaan dengan pada tahun 2050, yang menyebabkan peningkatan besar kebutuhan air. Urbanisasi yang mendesak, tata kelola yang buruk, kelangkaan data, infrastruktur yang tidak memadai adalah faktor kunci penyebab kelangkaan air perkotaan negara berkembang di seluruh dunia. Itu mengarah ke dampak lainnya seperti perubahan siklus hidrologi, kerawanan pangan, kesehatan bermasalah, kerentanan tinggi terhadap kondisi cuaca ekstrem yang sering terjadi dan kesehatan mental, dan sebagainya.
Sebagian besar penelitian konvensional didesain sebagai analisis kuantitatif (misalnya analisis kualitas air, simulasi numerik, penggunaan teknik spasial seperti sensor dan GIS (Geographic Information System) untuk analisis sumber daya air, penilaian cuaca buruk seperti banjir, kekeringan dan dampaknya terhadap sumber daya air, dll.) atau analisis kualitatif (misal ilmu kependudukan, penelitian berbasis kognitif, analisis berbasis kuesioner, dll.). Ada kesenjangan besar dalam informasi ilmiah relevan yang dibutuhkan untuk membangun strategi pengelolaan air yang baik. Karena kurangnya rencana dan kerangka pengelolaan yang ada, ini berarti bahwa tanpa perubahan transformatif, sebagian besar kota yang berkembang pesat di negara berkembang ini akan menghadapi kelangkaan air yang parah (Kumar, 2021).
Berdasarkan penelitian Widodo, T et al. (2019), Sungai Grenjeng merupakan salah satu sumber air irigasi yang tercemar oleh limbah dari industri, peternakan dan kegiatan domestik. Kualitas dan indeks perairan pencemaran dinilai berdasarkan parameter fisika-kimia dan biologi di Sungai Grenjeng, Boyolali. Pengambilan sampel air sungai dilakukan pada musim kemarau dan hujan yang diambil pada tiga lokasi pengamatan (hulu, tengah, dan hilir sungai). Hasil dari analisis laboratorium dibandingkan dengan standar mutu air menurut PP No.82/2001 dan status mutunya didasarkan pada metode Indeks Pencemaran sesuai dengan lampiran Menteri Keputusan Lingkungan Hidup No.115/2003. Penelitian ini menunjukkan bahwa BOD sebesar 5,3-5,7 mg/L, COD 49-510,5 mg/L dan total koliform 540-2.400.000 mL pada musim kemarau. Hasil ini telah melebihi ketentuan standar kelas mutu air, sedangkan pada musim hujan total koliform adalah sebesar 24.000-240.000 mL. Hasil ini juga telah melebihi standar mutu air untuk semua kelas. Indeks pencemaran air sungai pada musim kemarau telah mencapai tingkat sangat tercemar dan indeks air sungai pada musim hujan telah mencapai tingkat sedang hingga tercemar. Kondisi ini menunjukkan bahwa praktik membuang sampah ke badan sungai dapat secara langsung mempengaruhi kualitas air sungai. Sumber air irigasi untuk pertanian harus sesuai dengan standar mutu air irigasi sehingga cocok sebagai air irigasi tanaman. Pendekatan ramah lingkungan diperlukan untuk mencegah pencemaran yang lebih parah, yang dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelaku usaha dalam pengelolaan limbah cair dengan membuat sistem pengolahan air limbah terpadu.
Sedangkan menurut hasil riset Triaji, M., et al. (2017), sungai Porong dapat digambarkan sebagai TPA berjalan yang dapat mengalirkan berbagai sampah ke muara, di mana ia akan mengendap dan menumpuk. Banyaknya limbah di sungai akan menimbulkan pencemaran dan memberikan dampak negatif yang sangat besar bagi status kualitas air dan kehidupan organisme. Tingkat pencemaran yang terjadi di sungai Porong dinilai dengan menggunakan Indeks WQI NSF (National Sanitation Foundation - Water Quality Index). Lokasi penelitian berada di sepanjang sungai Porong, dari Mojokerto sampai muara Jaban Sidoarjo, yang akan dibagi menjadi 7 lokasi pengambilan sampel. Selanjutnya penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Indeks WQI NSF digunakan karena mampu menganalisis data menggunakan 8 atau 9 parameter. Untuk mendapatkan gambaran status kualitas air Sungai Porong secara lengkap, maka penelitian ini menggunakan 9 parameter, antara lain: BOD, DO, nitrat, total fosfat, suhu, kekeruhan, total padatan, pH, dan Fecal Coliform. Berdasarkan hasil analisis data 9 parameter dengan menggunakan indeks NSF-WQI, diketahui bahwa status kualitas air Sungai Porong saat ini termasuk dalam kriteria sedang. Kriteria sedang diperoleh karena rendahnya nilai sub indeks kurva DO dan total fosfat sehingga bila dikalikan dengan parameter bobot nilai tersebut masih rendah sehingga tidak banyak merubah jumlah skor total akhir NFS- WQI. Dengan mengetahui hasil analisis data yang menunjukkan kriteria sedang, maka kebersihan air wajib dijaga agar status kualitas air tidak menurun.
Hasil penelitian oleh Luo, P., et al. (2019) menyatakan bahwa kota-kota besar menghadapi masalah pencemaran air yang serius karena urbanisasi, pertumbuhan penduduk yang cepat dan pembangunan ekonomi. Air adalah sumber daya penting untuk aktivitas manusia dan pembangunan sosial-ekonomi dan kualitas air di perkotaan memiliki implikasi penting bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Urbanisasi dan kurangnya saluran air limbah telah menyebabkan air di Jakarta, Indonesia dalam kondisi tercemar berat. Penilaian kualitas air perkotaan yang ketat diperlukan untuk memahami faktor-faktor yang mengendalikan kondisi kualitas air. Metode trend analysis dipakai untuk menilai kondisi kualitas air di Jakarta, dengan fokus pada Biochemical Oxygen Demand (BOD), Dissolved Oxygen (DO), dan Total Suspended Solids (TSS). Di sebagian besar stasiun pemantauan yang dianalisis, konsentrasi BOD dan TSS telah menurun dari waktu ke waktu, tetapi dari konsentrasi awal yang besar. DO di sebagian besar lokasi pemantauan mengalami kenaikan. Meskipun kualitas air Jakarta telah menunjukkan beberapa perbaikan, namun tetap saja mengalami pencemaran yang parah. Nilai rata-rata BOD pada bagian hulu lebih rendah dibandingkan dengan aliran tengah dan hilir sungai. Tren BOD dan TSS beberapa bagian sungai menunjukkan kualitas air di bagian tengah dan hilir meningkat. Hasil analisis klaster menunjukkan tiga kelompok untuk BOD dan TSS, dan empat kelompok untuk DO. Pemahaman kondisi kualitas air dan faktor-faktor yang mengontrol kualitas air digunakan untuk mendesain strategi untuk meningkatkan kualitas air. Hal itu perlu dilakukan mengingat tren saat ini dalam iklim, pertumbuhan penduduk dan pembangunan perkotaan. Hasil dari penelitian ini menyarankan arah penelitian dan strategi pengelolaan untuk mengatasi tantangan kualitas air untuk langkah selanjutnya.
Jadi, kalau melihat beberapa hasil riset di atas, sebenarnya sudah ada kesadaran dan upaya untuk perbaikan kualitas air, khususnya di daerah perkotaan. Namun untuk mencapai hal tersebut, memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Semoga dalam beberapa tahun ke depan, kualitas air negeri kita akan segera meningkat secara signifikan.
Terimakasih sudah membaca! 😃
Referensi:
Kumar, P. (2021). Water Quality Assessments for Urban Water Environment. Water, 13(12):1686.
Luo, P., Kang, S., Apip , Zhou, M., Lyu, J., Aisyah, S., et al. (2019) Water quality trend assessment in Jakarta: A rapidly growing Asian megacity. PLoS ONE. 14(7): e0219009.
Triaji, M., Risjani, Y. & Mahmudi, M. (2017). Analysis of Water Quality Status in Porong River, Sidoarjo by Using NSF-WQI Index (National Sanitation Foundation - Water Quality Index). Indonesian Journal of Environment and Sustainable Development. 8(2): 117-119.
Widodo, T., Budiastuti, M. T. S., & Komariah. (2019). Water Quality and Pollution Index in the Grenjeng River, Boyolali Regency, Indonesia. Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 34(2): 150-161.
Comments
Post a Comment